Kecerdasan intelektual merupakan konsep yang sangat penting dibahas
dan perlu diterapkan dalam sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, perumusan
konsep dan strategi penerapannya mesti dilakukan dalam sistem pendidikan Islam
guna menumbuhkan kecerdasan intelektual anak didik. Proses pertumbuhan
kecerdasan intelektual menurut pendidikan Islam adalah ditandai dengan adanya
pendidikan akhlak. Pendidikan Islam di samping berupaya membina kecerdasan
intelektual, juga membina kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual.
Pendidikan Islam membina dan meluruskan hati terlebih dahulu dari
penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, hasut selanjutnya
mengisi dengan akhlak yang terpuji, seperti ikhlas, sabar,
jujur, kasih sayang, tolong-menolong, bersahabat, silaturahmi dan lain-lain.
Ajaran akhlak yang demikian inilah yang menjadi titik berat dalam proses
pendidikan Islam.
Intelektual sering dijadikan indikator berhasil
tidaknya siswa di sekolah. Inteligensi setiap individu berbeda-beda. Oleh
karena itu, pendidik harus mengerti betul inteligensi setiap peserta didiknya.
Jangan sampai salah mengenali. Misalnya, orang tua siswa berasumsi bahwa anak
yang pintar ialah yang menguasai ilmu pasti. Maka dari itu, si anak harus masuk
jurusan ilmu alam. Padahal, si anak lebih mampu dan berminat di bidang ilmu sosial. Mindset inilah
yang perlu dibenahi. Sebagai pendidik pun semestinya peka terhadap hal ini.
Tidak hanya diukur dari nilai hasil belajar saja, melainkan berdasarkan survei
minat siswa. Dengan begitu, inteligensi siswa akan ditingkatkan sesuai dengan
bidangnya.
Abu Bakar pun
pernah mengalami hal yang sama ketika menyertai perjalanan hijrah Rasulullah
SAW ke Madinah. Di pertengahan perjalanan Abu Bakar berjumpa dengan peserta
sayembara pembunuhan terhadap Rasulullah SAW. Abu Bakar ditanya: "Siapakah
orang yang berada di depanmu itu?". Abu Bakar menjawab: "Huwal Hadi
(dia petunjuk jalanku)." Petunjuk jalan yang dimaksud Abu Bakar adalah
yang menunjuki jalan dari jalan kegelapan jahiliyah kepada jalan terang
benderang, yaitu Islam. Sedangkan orang itu mengira orang yang di depan Abu
Bakar adalah guiding perjalanan. Pentingnya mendayagunaan akal sangat
dianjurkan oleh Islam. Tidak terhitung banyaknya ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis
Rasulullah SAW yang mendorong manusia untuk selalu berfikir dan merenung.
Redaksi al-Qur'an dan al-Hadis tentang berfikir atau mempergunakan akal cukup variatif.
Ada yang dalam bentuk khabariah, insyaiyah, istifham inkary. Semuanya itu
menunjukkan betapa Islam sangat concern terhadap kecerdasan intelektual
manusia. Dan kecerdasan intelektual itu berarti pemahaman terhadap ilmu
pengetahuan.
العلم قبل القول والعمل , لقول الله تعالى " فاعلم أنه لا إله
إلا الله : فبدأ بالعلم و أن العلماء هم وراثة الأنباء ,
ورثوا العلم من أخذه بحظ وافر ومن سلك طريقا
يطلب به علما سهل الله له طريقا إلى الجنة ( راو ه البخاري
"Ilmu sebelum perkataan dan
perbuatan,sesuai dengan perkataan Allah (ketahuilah tiada Tuhan selain Allah)
Ia memulainya dengan Ilmu sesungghunya ulama adalah pewaris para nabi, mereka
mewarisi ilmu dengan sangat lengkap, barang siapa yang menempuh jalan (proses
belajar dan mengajar) untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya
jalan menuju surga."
Beberapa ahli
menekankan fungsi inteligensi untuk membantu penyesuaian diri seseorang
terhadap lingkungannya. Beberapa ahli lain menekankan struktur inteligensi
dengan menggambarkan sebagai suatu “kecakapan”.
Menurut bahasa,
inteligensi diartikan sebagai kemampuan umum dalam memahami hal-hal yang
abstrak.sedangkan Menurut istilah, inteligensi didefinisikan sebagai
kesanggupan seseorang untuk beradaptasi dengan berbagai situasi dan dapat
diabstraksikan pada suatu kualitas yang sama. Imam Al-Ghazali (450 H/1058M—505 H/1111M) dan beberapa sufi lainnya sesungguhnya
sudah lama memperkenalkan model kecerdasan spiritual dengan beberapa sebutan,
seperti dapat dilihat dalam konsep Mukasyafah dan Ma’rifah.
Menurut Al-Ghazali, kecerdasan
spiritual dalam bentuk mukasyafah (penyingkapan langsung) dapat
diperoleh setelah roh terbebas dari berbagai hambatan. Yang
dimaksud hambatan di sini ialah kecenderungan duniawi dan berbagai penyakit
jiwa, termasuk perbuatan dosa dan maksiat. Mukasyafah merupakan sasaran
terakhir para pencari kebenaran dan mereka yang berkeinginan meletakkan
keyakinannya di atas kepastian.
Kepastian yang mutlak tentang kebenaran hanya mungkin dapat dicapai
ketika roh tidak lagi terselubung khayalan dan pikiran. (Lihat mukadimah Ihya’
Ulumuddin).
Kecerdasan spiritual, menurut
Al-Ghazali, dapat diperoleh melalui wahyu dan atau ilham. Wahyu merupakan
kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum,
diturunkan Allah kepada nabi-Nya untuk disampaikan kepada orang lain sebagai
petunjuk-Nya. Sedangkan, ilham hanya merupakan pengungkapan (mukasyafah) kepada
manusia pribadi yang disampaikan langsung masuk ke dalam batin seseorang.
Al-Ghazali tidak membatasi ilham itu
hanya pada wali, tetapi diperuntukkan kepada siapa pun yang diperkenankan oleh
Allah. Menurut dia, tidak ada perantara antara manusia dan pencipta-Nya. Ilham
diserupakan dengan cahaya yang jatuh di atas hati yang murni dan sejati, bersih,
dan lembut. Dari sini, Al-Ghazali tidak setuju ilham disebut atau diterjemahkan
dengan intuisi.
Ilham berada di wilayah supra
consciousness, sedangkan intuisi hanya merupakan sub-consciousness. Allah SWT
sewaktu-waktu dapat saja mengangkat tabir yang membatasi Dirinya dengan
makhluk-Nya. Ilmu yang diperoleh secara langsung dari Allah itulah yang disebut ‘ilm al-ladunni oleh Al-Ghazali. (Lihat karyanya,
Risalah al-Ladunniyyah).
Orang yang tidak dapat mengakses
langsung ilmu pengetahuan dari-Nya tidak akan menjadi pandai karena kepandaian
itu dari Allah. Al-Ghazali mengukuhkan pendapatnya dengan mengutip surah
Al-Baqarah/2: 269. “Allah
menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Alquran dan Sunah)
kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah
itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya
orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
Namun, ia menyatakan, hierarki ini disederhanakan menjadi dua
bagian, yaitu kecerdasan intelektual yang ditentukan oleh akal (al-aql)
dan kecerdasan spiritual yang diistilahkan dengan kecerdasan rohani, ditetapkan
dan ditentukan oleh pengalaman sufistik.
Agak sejalan dengan Ibnu Arabi yang menganalisis lebih mikro lagi
tentang kecerdasan spiritual dengan dihubungkannya kepada tiga sifat ilmu
pengetahuan ini, yaitu pengetahuan kudus (ilm al-ladunni), ilmu pengetahuan
misteri-misteri (ilm al-asrar), dan ilmu
pengetahuan tentang gaib (ilm al-gaib).
Ketiga jenis ilmu pengetahuan tersebut tidak dapat diakses oleh
kecerdasan intelektual (Ibnu Arabi, Futuhat Al-Makkiyyah, Juz IV, hlm 394). Tentang kecerdasan intelektual, Ibnu Arabi cenderung mengikuti
pendapat Al-Hallaj yang menyatakan intelektualitas manusia tidak mampu memahami
realitas-realitas. Hanya dengan kecerdasan spirituallah manusia mampu memahami
ketiga sifat ilmu pengetahuan tersebut di atas.
Al-Ghazali dan Ibnu Arabi mempunyai kedekatan pendapat di sekitar
aksesibilitas kecerdasan spiritual. Menurut Al-Ghazali, jika seseorang mampu
menyinergikan berbagai kemampuan dan kecerdasan yang ada pada dirinya, maka
yang bersangkutan dapat ‘membaca’ alam semesta (makrokosmos/al-alam al-kabir).
No comments:
Post a Comment