Friday, September 25, 2015

Kecerdasan Menurut Perspektif Muslim

Kecerdasan intelektual merupakan konsep yang sangat penting dibahas dan perlu diterapkan dalam sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, perumusan konsep dan strategi penerapannya mesti dilakukan dalam sistem pendidikan Islam guna menumbuhkan kecerdasan intelektual anak didik. Proses pertumbuhan kecerdasan intelektual menurut pendidikan Islam adalah ditandai dengan adanya pendidikan akhlak. Pendidikan Islam di samping berupaya membina kecerdasan intelektual, juga membina kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual. Pendidikan Islam membina dan meluruskan hati terlebih dahulu dari penyakit-penyakit hati seperti iri, dengki, hasut selanjutnya mengisi dengan akhlak yang terpuji, seperti ikhlas, sabar, jujur, kasih sayang, tolong-menolong, bersahabat, silaturahmi dan lain-lain. Ajaran akhlak yang demikian inilah yang menjadi titik berat dalam proses pendidikan Islam.
Intelektual sering dijadikan indikator berhasil tidaknya siswa di sekolah. Inteligensi setiap individu berbeda-beda. Oleh karena itu, pendidik harus mengerti betul inteligensi setiap peserta didiknya. Jangan sampai salah mengenali. Misalnya, orang tua siswa berasumsi bahwa anak yang pintar ialah yang menguasai ilmu pasti. Maka dari itu, si anak harus masuk jurusan ilmu alam. Padahal,  si anak lebih mampu dan berminat di bidang ilmu sosial. Mindset inilah yang perlu dibenahi. Sebagai pendidik pun semestinya peka terhadap hal ini. Tidak hanya diukur dari nilai hasil belajar saja, melainkan berdasarkan survei minat siswa. Dengan begitu, inteligensi siswa akan ditingkatkan sesuai dengan bidangnya.
Abu Bakar pun pernah mengalami hal yang sama ketika menyertai perjalanan hijrah Rasulullah SAW ke Madinah. Di pertengahan perjalanan Abu Bakar berjumpa dengan peserta sayembara pembunuhan terhadap Rasulullah SAW. Abu Bakar ditanya: "Siapakah orang yang berada di depanmu itu?". Abu Bakar menjawab: "Huwal Hadi (dia petunjuk jalanku)." Petunjuk jalan yang dimaksud Abu Bakar adalah yang menunjuki jalan dari jalan kegelapan jahiliyah kepada jalan terang benderang, yaitu Islam. Sedangkan orang itu mengira orang yang di depan Abu Bakar adalah guiding perjalanan. Pentingnya mendayagunaan akal sangat dianjurkan oleh Islam. Tidak terhitung banyaknya ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis Rasulullah SAW yang mendorong manusia untuk selalu berfikir dan merenung. Redaksi al-Qur'an dan al-Hadis tentang berfikir atau mempergunakan akal cukup variatif. Ada yang dalam bentuk khabariah, insyaiyah, istifham inkary. Semuanya itu menunjukkan betapa Islam sangat concern terhadap kecerdasan intelektual manusia. Dan kecerdasan intelektual itu berarti pemahaman terhadap ilmu pengetahuan.
 العلم قبل القول والعمل , لقول الله تعالى " فاعلم أنه لا إله إلا الله : فبدأ بالعلم و أن العلماء هم وراثة الأنباء ,
 ورثوا العلم من أخذه بحظ وافر ومن سلك طريقا يطلب به علما سهل الله له طريقا إلى الجنة ( راو ه البخاري
"Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan,sesuai dengan perkataan Allah (ketahuilah tiada Tuhan selain Allah) Ia memulainya dengan Ilmu sesungghunya ulama adalah pewaris para nabi, mereka mewarisi ilmu dengan sangat lengkap, barang siapa yang menempuh jalan (proses belajar dan mengajar) untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga."
Beberapa ahli menekankan fungsi inteligensi untuk membantu penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya. Beberapa ahli lain menekankan struktur inteligensi dengan menggambarkan sebagai suatu “kecakapan”.
Menurut bahasa, inteligensi diartikan sebagai kemampuan umum dalam memahami hal-hal yang abstrak.sedangkan  Menurut istilah, inteligensi didefinisikan sebagai kesanggupan seseorang untuk beradaptasi dengan berbagai situasi dan dapat diabstraksikan pada suatu kualitas yang sama. Imam Al-Ghazali (450 H/1058M—505 H/1111M) dan beberapa sufi lainnya sesungguhnya sudah lama memperkenalkan model kecerdasan spiritual dengan beberapa sebutan, seperti dapat dilihat dalam konsep Mukasyafah dan Ma’rifah.
Menurut Al-Ghazali, kecerdasan spiritual dalam bentuk mukasyafah (penyingkapan langsung) dapat diperoleh setelah roh terbebas dari berbagai hambatan. Yang dimaksud hambatan di sini ialah kecenderungan duniawi dan berbagai penyakit jiwa, termasuk perbuatan dosa dan maksiat. Mukasyafah merupakan sasaran terakhir para pencari kebenaran dan mereka yang berkeinginan meletakkan keyakinannya di atas kepastian.
Kepastian yang mutlak tentang kebenaran hanya mungkin dapat dicapai ketika roh tidak lagi terselubung khayalan dan pikiran. (Lihat mukadimah Ihya’ Ulumuddin).
Kecerdasan spiritual, menurut Al-Ghazali, dapat diperoleh melalui wahyu dan atau ilham. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, diturunkan Allah kepada nabi-Nya untuk disampaikan kepada orang lain sebagai petunjuk-Nya. Sedangkan, ilham hanya merupakan pengungkapan (mukasyafah) kepada manusia pribadi yang disampaikan langsung masuk ke dalam batin seseorang.
Al-Ghazali tidak membatasi ilham itu hanya pada wali, tetapi diperuntukkan kepada siapa pun yang diperkenankan oleh Allah. Menurut dia, tidak ada perantara antara manusia dan pencipta-Nya. Ilham diserupakan dengan cahaya yang jatuh di atas hati yang murni dan sejati, bersih, dan lembut. Dari sini, Al-Ghazali tidak setuju ilham disebut atau diterjemahkan dengan intuisi.
Ilham berada di wilayah supra consciousness, sedangkan intuisi hanya merupakan sub-consciousness. Allah SWT sewaktu-waktu dapat saja mengangkat tabir yang membatasi Dirinya dengan makhluk-Nya. Ilmu yang diperoleh secara langsung dari Allah itulah yang disebut ‘ilm al-ladunni oleh Al-Ghazali. (Lihat karyanya, Risalah al-Ladunniyyah).
Orang yang tidak dapat mengakses langsung ilmu pengetahuan dari-Nya tidak akan menjadi pandai karena kepandaian itu dari Allah. Al-Ghazali mengukuhkan pendapatnya dengan mengutip surah Al-Baqarah/2: 269. “Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Alquran dan Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
Namun, ia menyatakan, hierarki ini disederhanakan menjadi dua bagian, yaitu kecerdasan intelektual yang ditentukan oleh akal (al-aql) dan kecerdasan spiritual yang diistilahkan dengan kecerdasan rohani, ditetapkan dan ditentukan oleh pengalaman sufistik.
Agak sejalan dengan Ibnu Arabi yang menganalisis lebih mikro lagi tentang kecerdasan spiritual dengan dihubungkannya kepada tiga sifat ilmu pengetahuan ini, yaitu pengetahuan kudus (ilm al-ladunni), ilmu pengetahuan misteri-misteri (ilm al-asrar), dan ilmu pengetahuan tentang gaib (ilm al-gaib).
Ketiga jenis ilmu pengetahuan tersebut tidak dapat diakses oleh kecerdasan intelektual (Ibnu Arabi, Futuhat Al-Makkiyyah, Juz IV, hlm 394). Tentang kecerdasan intelektual, Ibnu Arabi cenderung mengikuti pendapat Al-Hallaj yang menyatakan intelektualitas manusia tidak mampu memahami realitas-realitas. Hanya dengan kecerdasan spirituallah manusia mampu memahami ketiga sifat ilmu pengetahuan tersebut di atas.
Al-Ghazali dan Ibnu Arabi mempunyai kedekatan pendapat di sekitar aksesibilitas kecerdasan spiritual. Menurut Al-Ghazali, jika seseorang mampu menyinergikan berbagai kemampuan dan kecerdasan yang ada pada dirinya, maka yang bersangkutan dapat ‘membaca’ alam semesta (makrokosmos/al-alam al-kabir).

No comments:

Post a Comment