Tuesday, August 12, 2014

STRES DAN COPING CALON LEGISLATIF YANG GAGAL DALAM PEMILU 2014

STRES DAN COPING CALON LEGISLATIF YANG GAGAL DALAM PEMILU 2014


PROPOSAL 
Diajukan untuk menyusun skripsi S-1




Disusun Oleh :

Ahmad Firdaus
11013299


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2014



Proposal Berjudul :
STRES DAN COPING CALON LEGISLATIF YANG GAGAL DALAM PEMILU 2014


Diajukan Oleh :

Ahmad Firdaus
11013299

Telah Disetujui Oleh :






Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan
Ketua Unit Urusan Skripsi, Tanggal Persetujuan




Sri KushartatiS.Psi., M.A. Yogyakarta, 06 Mei 2014





DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….....               i
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………………….               ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….              iii

BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………………               1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………..               1
B. Keaslian Penelitian……………………………………………………              4
C. Rumusan Masalah…………………………………………………...               4
D. Tujuan Penelitian……………………………………………………..               5
E. Mamfaat Penelitian……………………………………………………              5
F. Tinjauan Pustaka……………………………………………………..               6
1. Stres……………………………………………………………….               6
2. Manajemen dan Coping Stres   …..……………………………             14
3. Calon Legislatif …………………………………………………...            15
4. Stres pada Calon Legislatif  …...…………………………...           16

BAB II. METODE PENELITIAN..……………………………………………….             17
A. Pendekatan dan Strategi Penyelidikan……………………………..            17
B. Sampling……………….……………………………………………….           17
C. Metode Pengambilan Data…………………………………………...           18
1. Metode Wawancara………………………………………………            18
2. Metode Oservasi………………………………………………….            19
3. Studi Dokumen ……………………………………………………           19
D. Desain Penelitian……………………………………………………...            19
E. Pendekatan dalam Analisis Data.…………………………………….           20
F. Keterpercayaan Penelitian…………………………………………..            20
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………             24

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara demokrasi yang menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) setiap lima tahun sekali. Pemilu merupakan sarana  pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,  rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Salah satu bentuk pemilu adalah pemilu legislatif yang bertujuan untuk memilih nggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang diatur dalam UU No.8 tahun 2012.
Babak baru pemilu langsung di Indonesia dimulai pada pemilu legislatif 2014. Jika di pemilu sebelumnya rakyat hanya bisa memilih partai politik, di pemilu kali ini rakyat bisa langsung memilih anggota legislatif yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (Zheng, 2009). Pemilu 2014 diikuti sebanyak 15 partai yang terdiri dari partai nasional dan partai lokal. Dengan sistem pemilu langsung dan jumlah partai yang besar maka pemilu legislatif memberikan peluang yang besar pula bagi rakyat Indonesia untuk berkompetisi menjadi anggota legislatif baik melalui partai (untuk DPR, DPRD tingkat I, & DPRD tingkat II) maupun independen (untuk DPD).
 Berdasarkan data yang didapat dari media center KPU (Komisi Pemilihan Umum), pada pemilu legislatif 2014 terdapat 200.000 caleg dari 15 partai yang memperebutkan puluhan ribu kursi anggota dewan (tidak termasuk DPD/Dewan Perwakilan Daerah), dengan total jumlah kursi anggota dewan yang tersedia hanya sekitar 19.699 untuk seluruh Indonesia (Media Center KPU, 2014).
Pada tahun 2009, Indonesia mulai menyelenggarakan pemilu legislatif dengan menggunakan sistem baru, yakni dengan meniadakan daftar nomer urut caleg menjadi sistem suara terbanyak. Dengan sistem pemilu yang baru, optimisme untuk menjadi anggota legislatif semakin besar. Bagi caleg (calon legislatif) sendiri sistem ini menjadi peluang yang besar untuk menduduki kursi legislatif, karena akan lebih mudah mencari dukungan dari rakyat di daerah pemilihannya sendiri daripada dukungan penguasa partai politik. Sehingga berbagai caleg dengan beragam latar belakang bermunculan, mulai dari politikus sejati, ilmuwan, ulama, penguhsaha, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) hingga artis.
Banyaknya caleg yang bermunculan menyebabkan adanya kompetisi di antara para caleg untuk menarik simpati masyarakat. Seorang caleg harus bertarung “habis-habisan” dan menggunakan segenap kemampuan mereka untuk merebut simpati dari masyarakat. Caleg berjuang untuk diri sendiri dan untuk itu harus bersaing melawan caleg yang berasal dari satu partai. Secara psikologis, tingkat ketegangan caleg pada pemilu kali ini jauh lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan banyaknya kasus-kasus yang bermunculan berkaitan dengan kegagalan caleg menjadi anggota legislatif. Misalnya di Tanggerang, Banten, seorang caleg dari sebuah parpol mengamuk setelah penghitungan suara akibat perolehan suara di sejumlah TPS di lingkungan tempat tinggalnya jauh dari yang diharapkan. Perilaku caleg laki-laki berusia 40-an tahun itu menyerupai orang tak waras. Mengenakan celana pendek dan rambut yang ditata klimis, ia berjalan merangkak di pinggir jalan. Kepada setiap orang yang lewat, ia menyorongkan wadah, seraya berkata “Kembalikan uang saya”.
Pemilu legislatif 2014 menjadi sebuah ajang kompetisi bagi para caleg dalam memperebutkan kursi dewan, dan layaknya dalam suatu kompetisi, ada yang menang dan ada bagi para caleg gagal untuk mengalami stres. Stres merupakan sebuah gejala yang timbul akibat adanya kesenjangan antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi (Lazarus dalam Musbikin, 2005). Kegagalan dalam pemilu legislatif dapat dikatakan sebagai peristiwa yang penuh dengan stres (stresful), jika peristiwa tersebut dipersepsikan oleh individu sebagai suatu peristiwa yang dapat menimbulkan stres (Lazarus dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009).
Setelah individu mengalami kejadian yang membuat stres, individu biasanya berusaha untuk mengatasinya (Sears, 2009). Menurut Lazarus (Sears, 2009) cara untuk mengatasi kondisi stres adalah dengan melakukan coping. Selanjutnya, Lazarus mengatakan bahwa coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dalam penelitian ini, coping stres mengacu pada suatu upaya yang dilakukan individu untuk mengurangi mentoleransi, atau mengatasi stres yang ditimbulkan oleh sumber stres yang dianggap membebani individu.
Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa banyak hal yang sangat mungkin terjadi pada caleg setelah gagal dalam pemilu legislatif 2014. Hal inilah yang membuat peneliti ingin menggali lebih dalam dan komprehensif mengenai bagaimana stres yang dialami caleg gagal dan bagaimana strategi coping yang dilakukan dalam menghadapi kegagalannya dengan melihat peranan dukungan sosial dan sumber daya uang dan waktu berdasarkan teori proses coping yang dikemukakan oleh Taylor (2009)

B.  Keaslian Penelitian
Dalam penelitian ini sudah pernah di teliti mengenai bagaimana Coping Stress Calon Anggota Legislatif Tidak Terpilih Pada Pemilu Legislatif 2009 oleh Zulvia Aztradiana, Dan Makna Kegagalan Caleg Menjadi Anggota Legislatif Kota Semarang Periode 2009-2014 namun ada perbedaan dengan penelitian yang dilakukan baik dari variabel penelitiannya, maupun subjek dalam penelitian ini, dimana subjek dalam penelitian kali ini yaitu caleg (Calon Legislatif) yang berada di daerah jawa khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta, oleh karena itu peneliti berkeyakinan bahwa penelitian ini akan menghasilkan sebuah pemaknaan stress itu sendiri dan mengetahui Coping stres untuk Caleg yang GAGAL dalam Pemilu 2014.

C.  Rumusan Masalah
Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Untuk itu, peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut yaitu :


1.    Bagaimana stres yang dialami oleh caleg gagal?
2.    Bagaimana strategi coping stress yang dilakukan oleh caleg gagal?
3.    Mengapa mereka menggunakan strategi coping  stress tersebut?

D.  Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh pemahaman secara komprehensif mengenai stress, hal apa saja yang menyebabkan stress serta bagaimana coping stres pada caleg yang gagal dalam pemilu legislatif 2014.

E.  Manfaat Penelitian
1.    Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi di bidang psikologi khususnya psikologi social maupun psikologi klinis terutama yang berkaitan dengan coping stres pada caleg yang gagal dalam pemilu legislatif.
2.    Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, seperti Menjadi informasi bagi masyarakat ataupun caleg-caleg selanjutnya mengenai strategi coping stres.
  
F.   Tinjauan Pustaka
1.    Stres
a.    Definisi stres
Stres adalah suatu tekanan atau sesuatu yang terasa menekan dalam diri individu. Menurut McGrath dalam Sukadiyanto (2010), stres didefinisikan sebagai ketidakseimbangan substansial antara keinginan (jasmani dan/atau rohani) dengan kemampuan untuk merespon kegagalan dalam mencapai keinginan tersebut. Sedangkan menurut Sarafino, stres adalah sebagai suatu keadaan yang dihasilkan ketika individu dan lingkungan bertransaksi, baik nyata atau tidak nyata, antara tuntutan situasi dan sumber-sumber yang dimiliki individu menyangkut kondisi biologis, psikologis, atau psikososial. (Segarahayu RD, 2011).
Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres memiliki memiliki tiga bentuk yaitu:
1)    Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang menimbulkan stres atau disebut juga dengan stressor.
2)    Respon, yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang muncul dapat secara psikologis, seperti: jantung berdebar, gemetar, pusing, serta respon psikologis seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung.
3)    Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi maupun afeksi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stress adalah respon individu pada suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan – tuntutan  yang berasal dari situasi dengan sumber – sumber daya sistem biologis, psikologis, dan sosial seseorang sebagai tekanan yang mengganggu. Sehingga muncul upaya individu untuk menggunakan mekanisme pertahanan sebagai pelindung. Pendekatan yang digunakan dalam hal ini adalah pendekatan respon sebagai bentuk coping.
b.    Penyebab Stres
Menurut McGrath (2010), stres disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan atau kegagalan individu dalam memenuhi kebutuhannya baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Stres muncul sebagai akibat dari adanya tuntutan yang melebihi kemampuan individu untuk memenuhinya. Apabila seseorang tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan, maka akan merasakan suatu kondisi ketegangan dalam dirinya. Ketegangan yang berlangsung lama dan tidak ada penyelesaian, akan berkembang menjadi stres. Secara umum, stres terjadi jika individu dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai ancaman kesehatan fisik atau psikologis. Keadaan atau peristiwa yang menyebabkan stres ini disebut stresor, dan reaksi individu terhadap peristiwa yang menyebabkan stres disebut respon stres.
Sumber-sumber stres (stresor) dapat berubah sesuai dengan perkembangan individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap waktu sepanjang kehidupan. (Sarafino, Edward. 2006) Stresor adalah bentuk yang spesifik dari stimulus, apakah itu fisik atau psikologis, menjadi tuntutan yang membahayakan well being individu dan mengharuskan individu untuk beradaptasi dengannya. Semakin besar perbedaan antara tuntutan situasi dengan sumber daya yang dimiliki, maka situasi tersebut akan dipandang semakin kuat menimbulkan stres. (Passer, M.W, Smith, R.E. 2007)
Menurut Taylor, stresor merupakan peristiwa yang menyebabkan stres. Sebuah penelitian tentang stresor telah membantu mendefinisikan beberapa kondisi yang lebih banyak memproduksi stres daripada yang lainnya, tetapi jika hanya memfokuskan pada peristiwa penuh stres tidak dapat secara penuh menjelaskan pengalaman stres. Karena tiap pengalaman penuh stres antara satu orang dengan orang lain berbeda-beda. Individu juga bervariasi dalam merespon stres. Menurut Taylor, respon terhadap stres dimanifestasikan dan melibatkan perubahan fisiologis, reaksi kognitif, reaksi emosional, dan respon perilaku. Respon-respon stres ini menimbulkan kemungkinan dari variasi tanda-tanda terjadinya stres, yang mana dapat diukur sebagai usaha untuk mengetahui secara langsung derajat stres seseorang. (Taylor, Shelley. 2003)
Menurut Sukadiyanto (2010), beberapa jenis stresor antara lain terdiri dari faktor yang berasal dari dalam diri  individu dan faktor yang berasal dari luar diri individu. Adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan menimbulkan konflik dalam diri individu,  sehingga berdampak pada munculnya stres. Berikut ini beberapa hal yang dapat menyebabkan muncul  stres  pada individu, antara lain: perasaan cemas mengenai hasil yang dicapai, aktivitas yang tidak seimbang, tekanan dari diri sendiri, suatu kondisi ketidakpastian, perasaan cemas, perasaan bersalah, jiwa yang dahaga secara emosional dan spiritual, dan kondisi sosial ekonomi.
Menurut Sarafino dalam Mumtahinnah (2008), stresor dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
a)    Stresor di dalam diri seseorang.  Menurut Sarafino, kadang-kadang sumber stres itu ada di dalam diri seseorang. Tingkatan stres yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur individu
b)    Stresor di dalam keluarga. Stres di sini dapat bersumber dari interaksi di antara para anggota keluarga.
c)    Stresor di dalam komunitas dan lingkungan. Beberapa pengalaman stres orang tua bersumber dari pekerjaannya, dan lingkungan yang stresfull sifatnya.
d)    Stresor yang berasal dari pekerjaan. Diantara faktor-faktor yang membuat suatu pekerjaan itu stresfull adalah tuntutan kerja.
e)    Stresor yang berasal dari lingkungan. Lingkungan yang dimaksudkan di sini adalah lingkungan fisik, seperti: kebisingan, suhu terlalu panas, kesesakan.


c.    Tahapan Stres
Selye dalam Mumtahinnah (2008) mengidentifikasikan 3 tahap dalam respon sistemik tubuh terhadap kondisikondisi penuh stres, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS), yaitu:
a)    Alarm Reaction
Organisme berorientasi pada tuntutan yang diberikan oleh lingkungannya dan mulai menghayatinya sebagai ancaman.
b)      Resistance (perlawanan)
Organisme memobilisasi sumber-sumbernya supaya mampu menghadapi tuntutan.
c)      Exhaustion
Jika  tuntutan  berlangsung  lama, maka sumber-sumber penyesuaian ini mulai habis dan organisme akan kehabisan tenaga. Jika reaksi badan tidak cukup, berlebihan, atau salah, maka reaksi badan itu sendiri dapat menimbulkan penyakit (diseases of adptation).
d.    Penilaian Terhadap Stres
Lazarus & Folkman menyatakan bahwa secara umum stres memiliki proses penilaian yang disebut cognitive appraisal.  Cognitive appraisal adalah proses mental dimana individu menilai 2 aspek, apakah tuntutan mempengaruhi kondisi fisik dan psikologisnya? Dan apakah individu memiliki sumber daya yang cukup untuk menghadapi tuntutan tersebut? Kedua aspek ini membedakan 2 tipe penilaian, yaitu :
1)    Penilaian individu mengenai pengaruh situasi terhadap well being individu, yang disebut primary appraisal. Primary appraisal dapat menghasilkan 3 keputusan, apakah situasi yang dihadapi individu tersebut irrelevant, good ataupun stresfull
2)    Penilaian sekunder (secondary appraisal), merupakan penilaian mengenai kemampuan individu melakukan coping, beserta sumber daya yang dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat, dan challenge dalam peristiwa yang terjadi, mengevaluasi potensi atau kemampuan dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian.
Menurut Skinner penilaian ini penting bagi usaha untuk mengelola situasi yang menekan. Menilai kejadian sebagai tantangan bisa menghasilkan upaya  coping yang penuh percaya diri dan emosi positif, sedangkan menganggap kejadian stresor sebagai ancaman dapat menurunkan kepercayaan diri dalam melakukan coping dan menimbulkan emosi negatif. (Taylor, Shelley, Peplau, L, A, et al. 2009)
e.    Gejala Stres
Secara umum, gejala stres diidentifikasikan ke dalam 4 tipe yang berbeda, yaitu : perilaku, emosi, kognitif dan fisik.
1)    Gejala Perilaku. Banyak diantara perilaku yang menunjukkan stres diantaranya yaitu penundaan dan menghindar, menarik diri dari teman dan keluarga, kehilangan nafsu makan dan tenaga, emosi yang meledak dan agresi, memulai atau peningkatan penggunaan obat-obatan secara dramatis, perubahan pola tidur, melalaikan tanggungjawab, penurunan produktifitas dalam diri seseorang.
2)    Gejala Emosi. Sebagian besar gejala emosi pada stres adalah kecemasan, ketakutan, cepat marah dan depresi. Gejala lainnya yaitu frustrasi, perasaan yang tidak menentu, perasaan selalu gugup, peka dan mudah tersinggung, gelisah, kelelahan yang hebat, enggan melakukan kegiatan, perasaan takut, pemusatan diri yang berlebihan, hilangnya spontanitas, mengasingkan diri dari kelompok, pobia dan kehilangan kontrol. Di dalam pekerjaan, stres ditunjukkan dengan kehilangan semangat dan penurunan kepuasan kerja, serta penurunan kemampaun dan penampilan kerja.
3)    Gejala Kognitif. Di antara sebagian besar gejala mental atau kejiwaan dari stres adalah kehilangan motivasi dan konsentrasi. Hal ini terlihat pada seseorang yang kehilangan kemampuan untuk memusatkan perhatian pada tugas yang diberikan dan kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Gejala mental lainnya adalah kecemasan yang berlebihan, kehilangan ingatan, kesalahan persepsi, kebingungan, terjadi pengurangan daya tahan tubuh dalam membuat keputusan, lemah dalam menyelesaikan masalah terutama selama krisis, mengasihani diri sendiri, kehilangan harapan.
4)    Gejala Fisik. Di antara gejala fisik dari stres adalah kelelahan secara fisik dan keadaan fisik yang lemah, migran dan kepala pusing, sakit punggung, telapak tangan dan atau kaki terasa dingin, susah tidur, pernapasan tersengal-sengal, perut terasa mual-mual, gangguan pencernaan, ketegangan otot yang ditandai dengan gemetaran dan kekejangan. Dalam sistem kardiovaskuler, stres ditandai dengan percepatan denyut jantung, hipertensi dan proses aterosklerotik yang buruk. Bagi wanita akan mengalami gangguan menstruasi, dan pada laki-laki dapat menyebabkan gangguan seksual (impotensi). Gejala lainnya antara lain berkeringat (perspiration/sweaty), menggigil atau gemetaran (trembling), mulut dan kerongkongan kering (dryness of throat and mouth), mudah letih (tiring easily), dan sering buang air kencing (urinating frequently).

f.     Dampak Stres
Dampak stres bagi individu adalah munculnya masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan, psikologis dan interaksi interpersonal.
1)    Kesehatan. Sistem kekebalan tubuh manusia bekerja sama secara integral dengan sistem fisiologis lain, dan kesemuanya berfungsi untuk menjaga keseimbangan tubuh, baik fisik maupun psikis yang cara kerjanya diatur oleh otak. Pusat syaraf otak akan mengaktifkan saraf simpatis, sehingga mendorong sekresi hormon adrenalin dan kortisol yang akhirnya akan memobilisir hormon-hormon lainnya. Stres akan mendeorong pelepasan gula dari hati dan pemecahan lemak tubuh dan bertambahnya kandungan lemak dalam darah. Kondisi tersebut akan mengakibatkan tekanan darah meningkat dan darah lebih banyak dialihkan dari sistem pencernaan ke dalam otot-otot sehingga produksi asam lambung meningkat dan perut tersa kembung serta mual.
2)    Psikologis. Stres berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekuatiran yang terus-menerus. Stres kronis umumnya terjadi di seputar masalah kemiskinan, kekacauan keluarga, terjebak dalam perkawinan yang tidak bahagia, atau masalah ketidakpuasan kerja. Akibatnya orang akan terus-menerus merasa tertekan dan kehilangan harapan, serta kesulitan dalam memanjemen kehidupannya.
3)    Interaksi interpersonal. Orang stres cenderung mengaitkan segala sesuatu dengan dirinya. Pada tingkat stres yang berat, orang bisa menjadi depresi, kehilangan rasa percaya diri dan harga diri. Akibatnya, ia lebih banyak menarik diri dari lingkungan, tidak lagi mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan, jarang berkumpul dengan sesamanya, lebih suka menyendiri, mudah tersinggung, mudah marah dan mudah emosi.
2.    Manajemen dan Coping Stres
Lazarus (Taylor, 2009) menyatakan coping adalah suatu proses untuk menata tuntutan yang dianggap membebani atau melebihi kemampuan sumber daya individu. Sedangkan coping menurut Lahey (2007) adalah suatu usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi sumber stres dan/atau mengontrol reaksi individu terhadap sumber stres tersebut. Coping  disini mengacu pada usaha untuk mengontrol, mengurangi atau belajar mentoleransi suatu ancaman yang bisa membawa seseorang kepada stres. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Taylor (dalam Baron & Byrne, 2005) yang menganggap coping sebagai cara individu untuk mengatasi atau menghadapi ancaman-ancaman dan konsekuensi emosional dari ancaman-ancaman tersebut. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa coping stres adalah suatu upaya yang dilakukan individu untuk mengurangi mentoleransi, atau mengatasi stres yang ditimbulkan oleh sumber stres yang dianggap membebani individu. 
Respon coping individu sering terjadi secara spontan, yang mana, individu melakukan apapun secara alami pada diri mereka dan apa yang telah dikerjakan sebelumnya. Tetapi seringkali usaha-usaha itu tidak cukup. Stresor bisa jadi lebih kronis, atau lebih elusif sehingga menyebabkan usaha individu itu sendiri tidak berhasil untuk menurunkan stres.
Karena individu dengan jelas kesulitan mengatur stres dengan dirinya sendiri, sehingga ahli psikologi kesehatan mengembangkan teknik yang disebut manajemen stres yang dapat diajarkan. (Taylor, Shelley. 2003) Manajemen stres adalah suatu program untuk melakukan pengontrolan atau pengaturan stres dimana bertujuan untuk mengenal penyebab stres dan mengetahui teknik-teknik mengelola stres, sehingga orang lebih baik dalam menguasai stres dalam kehidupan daripada dihimpit oleh stres itu sendiri. Manajemen stres lebih daripada sekedar mengatasinya, yakni belajar menanggulanginya secara adaptif dan efektif. Memanajemen stres berarti membuat perubahan dalam cara berfikir dan merasa, dalam cara berperilaku dan sangat mungkin dalam lingkungan individu masing-masing.
Moos (dalam Mohino, Kirchner, Forns, 2004) secara lebih rinci menggambarkan dalam inventori respon kopingnya, beragam bentuk strategi kognitif maupun perilaku baik yang berfokus emosi maupun berfokus masalah. Strategi tersebut meliputi:
1)    Logical analysis yaitu usaha kognitif untuk memahami dan menyiapkan secara mental terhadap stressor dan konsekuensi-konsekuensinya;
2)    Positive reappraisal yaitu usaha kognitif untuk menganalisa dan merestrukturisasi masalah dalam sebuah cara yang positif sambil terus melakukan penerimaan terhadap realitas situasi;
3)    Seeking guidance and support, yaitu usaha-usaha behavioral utnuk mencari informasi, petunjuk dan dukungan;
4)    Problem solving yaitu usaha behavioral untuk bertindak mengatasi masalah secara langung;
5)    Cognitive avoidance yaitu usaha-usaha kognitif untuk menghindari berpikir tentang masalah,
6)    acceptance-resignation yaitu usaha kognitif untuk mereaksi masalah dengan cara menerimanya,
7)    alternative rewards yaitu usaha behavioral untuk melibatkan diri dalam aktivitas pengganti dan menciptakan sumber-sumber kepuasan baru;
8)    Emotional discharge yaitu usaha behavioral untuk mengurangi tekanan dengan mengekspresikan perasaan negatif.
3.    Calon Anggota Legislatif
Dalam Wikipedia (2009) disebutkan bahwa  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga perwakilan yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.  Anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. DPR memiliki fungsi legislatif, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Selain itu, DPR juga mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Dengan fungsinya sebagai legislatif maka anggota DPR juga dikenal sebagai anggota legislatif..
Berdasarkan penjelasan di atas, pemilu legislatif adalah pemilu untuk memilih anggota legislatif. Anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat dari sekian banyak calon anggota legislatif.  Adapun calon anggota legislatif adalah anggota partai politik yang namanya telah ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemilu sebagai calon anggota legislatif untuk mengikuti pemilu legislatif di daerah pemilihan masing-masing.
1.    Stres dan Coping pada Calon Legislatif
Pada tahun 2009, Indonesia mulai menyelenggarakan pemilu legislatif dengan menggunakan sistem baru, yakni dengan meniadakan daftar nomer urut caleg menjadi sistem suara terbanyak. Secara psikologis, tingkat ketegangan caleg pada pemilu kali ini jauh lebih tinggi. Kalau pemilu sebelumnya dengan sistem nomor urut, seorang caleg bisa mengukur peluang mereka dapat  terpilih  atau  tidak  terpilih  menjadi anggota legislatif. (Purindawati R, Indrawati ES, Kahija YFL, 2010).
Respons yang ditunjukkan oleh subjek ketika mengalami kegagalan menjadi anggota legislatif adalah kekecewaan pada hasil perolehan suara.  Perasaan  kecewa  yang dianggap berasal dari aktor yang tidak bisa dikendalikan membuat subjek menyesal telah mengikuti pencalonan dan telah mencoba memasuki dunia politik.
Kekecewaan yang ditimbulkan oleh respons terhadap kegagalan  menjadi anggota legislatif dihadapi dengan membentuk mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan  diri merupakan suatu cara untuk menghindari suatu kenyataan yang tidak dapat diterima sebagai suatu kenyataan yang terjadi atas dirinya sekaligus untuk  mengurangi kecemasan.
Saputra dalam Purindawati dkk (2011), menyatakan bahwa kegagalan dalam pemilu legislatif membuat caleg menjadi kecewa bahkan menjadi stres dan frustasi. Mereka merasa tidak berdaya dan kehilangan harapan untuk meraih keberhasilan karena gagal menjadi anggota legislatif. Usaha yang dilakukan dari tahap pendaftaran sampai kampanye dianggap tidak berguna. Kejadian ini menyebabkan kondisi psikis caleg menjadi terguncang dan mempengaruhi hubungan sosial caleg.
Caleg kehilangan daya untuk memperbaiki kegagalannya  dan merasa tidak mampu mengendalikan situasi. Caleg yang menganggap bahwa  kegagalannya  ini  berada di  luar  kendalinya  maka  akan  merasa  tidak berdaya  untuk  menghadapi  kegagalan  yang dialami.  Caleg  yang  menganggap  kegagalan menjadi anggota legislatif hanya berlangsung sementara dan memiliki keyakinan bahwa ada keberhasilan  lain  akan  mudah  bangkit  dari kegagalan.  Caleg  akan  menata  kembali kehidupannya  dan  mencoba  bekerja  lebih keras untuk meraih keberhasilan. Caleg  yang memiliki  kemampuan  bangkit  lebih  cepat akan  menerima  bahwa  mereka  telah  gagal kemudian mencari penyebab kegagalan yang terjadi secara objektif. Caleg akan  melupakan kegagalannya tersebut dan menjadikannya pelajaran untuk meraih  keberhasilan dikemudian hari.

BAB II
METODE PENELITIAN
A.   Pendekatan  dan Strategi Penyelidikan
Strategi penyelidikanya menggunakan metode kualitatif, metode kualitatif adalah sebuah usaha untuk mengetahui perasaan yang ada dalam struktur yang diinginkan tentang apa yang dilakukan peneliti, dengan mengeksplorasi, mengembangkan, dan sitematisasi yang signifikan dari sebuah fenomena yang diketahui. Metode ini juga merupakan repsentasi atau penyajian yang bertujuan untuk membatasi sebuah isu atau masalah. (Banister, dkk. 1994).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pendekatan fenomenologi, metode dalam pendekatan ini adalah seting alamiah yang ditujukan pada fenomena mental perilaku terhadap persoalan yang sedang dialami.
Mulyana (2002), menyebutkan bahwa penelitian kualitatif bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang otentik mengenai pengalaman orang – orang, sebagaimana dirasakan oleh orang – orang yang bersangkutan untuk memahami suatu fenomena. Langkah penting adalah memahami dari sudut pandang manusia sebagai subjek perilaku.

B.   Sampling
Penelitain ini mengambil teknik sampel criterion. hal yang mendasari pendekatan ini adalah peneliti akan mereview dan memahani secara mendalam semua kasus yang menjadi kriteria penting pada individu bersangkutan. jumlah sampel pada penelitian ini adalah 3 orang dengan kriteria berusia minimal 21 tahun dan telah gagal dalam pencalonan Legislatif pemilu 2014

C.   Metode Pengambilan Data
Penelitian ini menggunakan beberapa metode dalam pengambilan data, antara lain:
1.    Metode Wawancara
Menurut Moleong (2009), wawancara merupakan kecakapan dengan maksud tertentu, kecakapan ini dilakukan oleh dua pihak degan maksud untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, tunututan, kebulatan, hal – hal yang dialami di masa lalu, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain.
Wawancara dalam riset kualitatif selalu bersifat semi tersturktur, karena selalu membawa jejak – jejak pola kekhasan yang bersifat mengatur segala sesuatu, dan sekaligus memperhatikan kemapuan kreatif dari orang yang diwawancarai atau rekan peneliti untuk menolak dan melawan apa yang ingin diwujudkan oleh sipenliti (Parker, 2005).
Metode wawancara yang akan digunakan adalah wawancara semi terstruktur, yaitu jenis wawancara yang dalam pelaksanaannya ada pedoman, tetapi pernyataanya dinyatakan secara semu disesuaikan dengan kondisi (Moleong, 2009). Berdasarkan teori tersebut, maka untuk mengumpulkan data peneliti menggunakan metode wawancara semi terstruktur, hal ini dilakukan agar sifat pertanyaan tidak bersifat kaku serta memungkinkan untuk menggali informasi yang relevan.
2.    Metode Observasi
Metode ini dilakukan untuk mengevaluasi pernyataan – pernyataan informan dalam hal validitas. Selain itu observasi juga memungkinkan dapat mengungkap informasi yang tidak bias didapatkan dalam proses wawancara.
Metode ini dilakukan bersamaan dengan wawancara, dikarenakan kedua metode ini saling mendukung dalam mendapatkan data. Jenis observasi yang diterapkan peneliti pada penelitian kali ini adalah observasi non partisipan, dimana peneliti hanya bertindak sebagai pengamat dan tidak terlibat langsung dalam kehidupan maupun kegiatan subjek. Observasi dilakukan diluar proses wawancara maupun dalam wawancara, karena memungkinkan peneliti mengungkap data yang bersifat non verbal, antara lain gerakan tubuh, mimik muka dan ekspresi wajah serta intonasi suara subjek selama proses wawancara.


D.   Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu:
1.    Pria / wanita berusia dewasa minimal 21 Tahun (UU KPU).
2.    Mengalami kegagalan dalam Pemilu 2014, 3 bulan sebelum wawancara dilaksanakan.
3.    Mengalami Stres setelah gagal dalam Pemilu 2014.

E.    Pendekatan Dalam Analisi Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Content analysis atau analisis isi. Analisis isi merupakan sebuah teknik analisis untuk membuat inferensi – inferensi yang dapat ditiru dan melibatkan kebenaran datanya (Krippendorff, 1993). Peneliti melakukan koding untuk memilih masing – masing respon subjek sesuai dengan karakteristik tertentu, yang ingin diungkap serta interpretasi data sesuai dengan hasil yag didapat dalam penelitian.

F.    Keterpercayaan Penelitian
Data atau temuan pada penelitian kualitatif, dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti (Sugiono; 2011). Kebenaran realitas data menurut penelitian kualitatif tidak bersifat tunggal, tetapi jamak dan tergantung pada konstruksi manusia.
Menurut Moleong (2009), penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif, istilah validitas disebut juga dengan istilah kredibilitas. Kredibilitas dapat diupayakan dengan cara triagulasi (sumber data, metode penelitian, dan teori) yaitu melakukan kecocokan data dengan informasi kemudian mengembalikan data kepada informan untuk memperoleh validitasnya serta memmerlama kontak dengan informan. Data yang diperoleh dalam penelitian akan lebih diyakini kebenarannya bila ada dua sumber atau lebih menyatakan hal yang sama, untuk itu dalam mencapai kredibilitas penelitian, peneliti menggunakan pendekatan triagulasi.
Ada tiga macam  triangulasi dalam jenisnya menurut Sugiyono (2010), yaitu:
1.    Triangulasi Sumber
Untuk menguji kredibilitas data, dilakukan dengan  cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. sebagai contoh untuk menguji kredibilitas data tentang perilaku mind, maka mengumpulkan dan pengujian data yang telah diperoleh dapat dilakukan ke guru, teman, murid yang bersangkutan dan orang tuanya. data dari ketiga sumber tersebut, tidak bisa diratakan seperti dalam penelitian kuantitatif, tetapi dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, yang berbeda, dan mana yang spesifikdari tiga data tersebut. Data yang telah dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan suatu kesimpulan selanutnya dimintakan kesepakatan (member check) dengan ketiga sumber data tersebut.
2.    Triangulasi teknik
Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data diperoleh dengan wawancara lalu dicek dengan observasi, dokumenasi,atau kuesioner. Bila dengan teknik pengujian kredibilitas melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau yang lain, untuk memastiakn data mana yang dianggap benar. atau mungkin semuanya benar, karena sudut pandang yang berbeda - beda.
3.    Triaglasi Waktu
Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara dipagi hari pada saat narasumber masih segar, belum banyak masalah akan banyak memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kredibel, untuk itu, dalam rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan dengan cara berulang - ulang sehingga ditemukan kepastian datanya.
Triangulasi dapat juga dilakukan dengan mengecek hasil penelitian, dari tim peneliti yang lain yang deberi tugas melakukan pengumpulkan data. Tujuan penelitian kualitatif memang bukan  semata- mata mencari kebenaran, tapi lebih pada pemahaman subyek terhadap dunia sekitarnya. Dalam memahami dunia sekitarnya, mungkin apa yang diungkapkan informan salah, karena tidak sesuai dengan teori dan tidak sesuai dengan hukum.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber. Moleong (2009) mengemukakan bahwa triangulasi adalah teknik memeriksaan keabsahan data yang memamfaatkan suatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data. Triangulasi yang paling banyak digunakan ialah triangulasi sumber, berarti membandingkan dan mengecek balik derajat ketepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. pendekatan ini menggunakan triagulasi sumber yaitu Significan person, kedua signifikan person yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelaurga terdekat subjek.
Triangulasi dapat dicapai melalui tahap - tahap:
1.    Membandingkan data dari hasil pengamatan dengan data dari hasil wawancara,
2.    Membandingkan dengan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan hasil wawancara,
3.    Membandingkan dengan apa yang dikatakan orang - orang tentang situasi penelitian dengan apa yang diakakan sepanjang waktu, Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan seseorang,Membandingkan hasil wawacara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan

DAFTAR PUSTAKA
Aztradiana, 2010. Coping Stress Calon Anggota Legislatif tidak terpilih pada Pemilu Legislatif 2009. Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Baron, Robert A, Bryne, Donn. 2005. Psikologi social. Jakarta: Erlangga
Komisi Pemilihan Umum. 2014. Calon Anggota Legislatif. Diakses dari http://www.rumahpemilu.org/index.php/read/11/Calon-Anggota-Legislatif pada tanggal 5 Maret 2014.
KPU. 2009. Undang-Undang RI No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (http://www.kpu.go.id), diakses tanggal 4 Maret 2014.
Krippendorff, Klaus. 1993, Analisis Isi Pengantar Teori dan Metodolog,. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Lahey, Benjamin B. 2007. Psichology an Introduction. New York: Mc Graw Hill.
Lazarus, S. & Folkman, R.S. (1986). Stress, appraisal, and coping. Springer: New York.
Lazarus, Richard S. (1991). Progress on a cognitive-motivational-relational theory of Emotion.American Psychologist Saransondan Spielberge
Moleong, J Lexy, Prof. Dr. 2009, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Mulyana, Deddy. 2002, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Mumtahinnah N, 2008. Hubungan antara Stres dengan agresi pada ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Diakses dari http://www. gunadarma.a c.id/ library/articles/graduate/psychology/2008/ Artikel_10502173.pdf
Parker, D. K.(2005). Menumbuhkan kemandirian dan harga diri. Jakarta: Prestasi Surabaya
Passer, M.W, Smith, R.E. 2007. Psychology, The Science of Mind and Behavior. New York: Mc Graw Hill
Purindawati R, Indrawati ES, Kahija YFL, 2010. Makna Kegagalan Caleg menjadi Anggota Legislatif Kota Semarang Periode 2009-2014. Jurnal Psikologi Undip, Vol.7, No.1, Hal:57-68.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012, tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Robbins, S.P. (2001). Organizational Behavior (9th ed).upper Sadlle River, NJ: Prentice-Hall
Santrock , John. W.,(2000) Life-Span Development (Seventh Edition). McGraw Hill College.
Santock, John W, Mitterer, John. 2003. Psychology 2. New York: Mc Graw Hill.
Sarafino, Edward. 2006. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. USA: John Wiley & sons
Sari DAN, 2010. Gambaran Stres dan Coping Stres pada Calon Legislatif yang Kalah dalam Pemilu 2009. Diakses dari http://eprints.umm.ac.id/ 1543/1/GAMBARAN STRES_DAN_COPING_STRES_PADA_CALON LEGISLATIF  YANG_KALAH DALAM_PEMILU_2009.pdf pada 20 April 2014.
Segarahayu RD, 2011. Pengaruh Manjemen Stres terhadap Penurunan Tingkat Stres pada Narapidana di LPW Malang. Universitas Negeri Malang. Diakses darihttp://jurnal-o nline.um.ac.id/data/artikel/ artikel DEB2881 49FBAA9 8C9 CB27 B 18 035D95A.pdf
Sugiyono, Dr. 2010. Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Penerbit ALFABETA
Sukadiyanto, 2010. Stres dan cara menguranginya. Cakrawala Pendidikan edisi Februari 2010 tahun XXIX, No.1. Hal:55 -66.
Taylor, Shelley. 2003. Health Psychology: Internal Edition. New York: McGrawHill.
Taylor, Shelley, Peplau, L, A, et al. 2009. Psikologi sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


No comments:

Post a Comment